La Upe adalah seorang anak laki-laki yatim dan miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Selawesi Selatan. Kata la upe berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari suku kata, yaitu: la berarti dia laki-laki, dan upe berarti beruntung. Jadi, kata la upe
berarti laki-laki yang beruntung. Berkat kesabarannya dalam menghadapi
segala cobaan dan siksaan, ia mendapat pertolongan dari Tuhan. Siksaan
apa yang dialami La Upe, dan pertolongan apa yang diberikan kepadanya?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita La Upe berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan,
Indonesia, ada seorang anak yatim bernama La Upe. Ia tinggal bersama
ayahnya di sebuah rumah kecil di pinggir kampung. Ibunya meninggal
dunia sejak ia masih kecil. Ketika ia berumur sepuluh tahun ayahnya
menikah lagi seorang janda dari kampung lain yang bernama I Ruga. Sang
Ayah berharap agar La Upe mempunyai ibu yang dapat merawat dan
menyayanginya. Namun, harapannya berbeda dari kenyataan. Setiap hari I
Ruga menyiksa dan memukul La Upe ketika ia pergi ke sawah.
Sejak
bersama ibu tirinya, hidup La Upe sangat menderita. Ia tidak pernah
lepas dari siksaan dan perintah yang berat dari ibu tirinya. Setiap
hari, ia disuruh pergi ke sungai untuk memancing ikan. Jika pulang tanpa
membawa hasil, ia disiksa dan dipukul dengan tongkat. Begitulah yang
dialami La Upe setiap hari tanpa sepengetahuan ayahnya.
Pada
suatu hari, La Upe disuruh oleh ibu tirinya ke sungai untuk memancing
ikan. Setelah mempersiapkan pancing dan umpan yang banyak, berangkatlah
ia ke sungai dengan harapan bisa mendapatkan hasil yang banyak agar
terhindar dari siksaan ibu tirinya. Sesampainya di tepi sungai, ia
memasang kailnya, lalu duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Sudah
hampir setengah hari ia memancing, namun tak seekor ikan pun yang
menyentuh umpannya. Hatinya pun mulai cemas.
“Aduh, aku pasti mendapat pukulan lagi kalau tidak mendapat ikan hari ini,” keluh La Upe.
Berkali-kali
La Upe memindahkan pancingnya ke tempat yang lebih dalam agar umpannya
di makan ikan, namun tak seekor ikan pun yang menyentuhnya. Karena
hari sudah siang dan perutnya pun sudah terasa sangat lapar, akhirnya
ia memutuskan untuk berhenti memancing. Ia sudah pasrah untuk
mendapatkan hukuman dari ibu tirinya. Ketika akan mengangkat kailnya,
tiba-tiba seekor ikan besar menyambar umpannya. Dengan hati-hati, ia
menarik kailnya perlahan-lahan ke tepi sungai. Setelah kailnya
terangkat, tampaklah seekor ikan besar yang terkait di ujung kailnya.
Hati La Upe yang semula cemas tiba-tiba menjadi senang, karena ia akan
terbebas dari hukuman. Betapa terkejutnya ia ketika akan memasukkan
ikan itu ke dalam wadahnya, ikan itu tiba-tiba berbicara layaknya
manusia.
“Ampun,
Tuan! Tolong jangan bunuh saya! Saya ini adalah raja ikan. Jika Tuan
sudi melepaskan saya, apa pun permintaan Tuan akan saya kabulkan.
Dengan menyebut `ilmunya raja ikan`, maka permintaan Tuan akan
terkabulkan,” kata ikan itu.
Karena
merasa iba, La Upe melepaskan kembali ikan itu ke sungai. Akhirnya, ia
pun pulang tanpa membawa hasil. Sesampainya di rumah, ia melihat ibu
tirinya sedang menunggunya.
“Hei, La Upe! Mana ikannya?” tanya ibu tirinya.
“Maaf, Bu! Tadi saya mendapatkan seekor ikan besar, tapi saya melepasnya kembali ke sungai,” jawab La Upe.
Mendengar
jawaban itu, I Ruga menjadi murka. Ia segera mengambil tongkatnya yang
sering digunakan untuk memukul La Upe. Ketika ibu tirinya hendak
memukulnya, La Upe tiba-tiba teringat pada pesan ikan besar yang
ditolongnya tadi. Ia pun segera membaca mantra sakti yang diberikan
kepadanya.
“Tolong lekatkan ibuku di pintu, berkat ilmunya raja ikan!”
Pada
saat itu pula, I Ruga pun melekat pada pintu. Ia meronta-ronta untuk
melepaskan diri, namun usahanya sia-sia. Tubuhnya lengket bagaikan
terkena perekat. Beberapa kali ia berteriak meminta tolong agar La Upe
melepaskan tubuhnya dari pintu itu, namun La Upe menolaknya. La Upe
justru pergi meninggalkannya dan membiarkannya terus melekat pada pintu
itu.
Tak
berapa kemudian, ayah La Upe pulang dari sawah. Betapa terkejutnya ia
ketika akan membuka pintu rumahnya. Pintu itu sangat berat seakan-akan
ada orang yang mendorongnya dari dalam.
“Bu, apakah kamu yang mendorong pintu ini?” tanya ayah La Upe.
“Tidak! Aku tidak mendorongnya. Tubuhku terlekat di balik pintu ini dan tidak bisa bergerak,” jawab I Ruga.
Ayah
La Upe pun mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Saat pintu itu
terbuka, tampaklah istrinya sedang melekat pada pintu sambil memegang
sebuah tongkat.
“Siapa yang melakukan ini, Bu?” tanya ayah La Upe.
I
Ruga pun menceritakan semua peristiwa yang menyebabkannya terlekat di
pintu itu. Mendengar cerita istrinya itu, ayah La Upe hanya tersenyum
dan berkata:
“Itulah akibatnya kalau selalu menyiksa dan memukul anak yang tidak bersalah.”
Setelah
berkata begitu, sang Ayah segera mencari La Upe. Tak berapa lama, ia
pun menemukannya sedang bermain bersama teman-temannya. Ia kemudian
meminta kepada La Upe agar kembali ke rumah dan memaafkan ibu tirinya.
La Upe pun menuruti permintaan ayahnya. Ia memang sangat patuh dan
hormat kepada ayahnya. Sesampainya di rumah, ia pun segera melepaskan
ibu itrinya dengan membaca mantra saktinya.
“Tolong lepaskan ibu tiriku, berkat ilmunya raja ikan!”
Seketika
itu pula, I Ruga pun terlepas dari pintu dan segera meminta maaf
kepada suaminya dan La Upe. Sejak saat itu, I Ruga tidak pernah lagi
menyiksa dan memukul La Upe karena takut mendapatkan kutukan. Akhirnya,
mereka pun hidup rukun dan bahagia.
Beberapa
tahun kemudian, La Upe pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Sejak itu, ia sering berjalan-jalan ke kota kerajaan untuk
melihat suasana keramaian kota. Suatu hari, ketika ia sedang lewat di
depan istana kerajaan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat putri
raja yang cantik nan rupawan sedang bersantai di jendela.
“Aduhai, cantik sekali putri raja itu!” ucap La Upe dengan kagum.
“Andai
saja aku bisa menikah dengannya, betapa bahagia rasanya hati ini,”
ucapnya lagi sambil terus menatap wajah cantik sang Putri.
Merasa
ada yang memerhatikannya, Putri Raja pun menoleh ke arah La Upe. Sang
Putri pun tersentak ketika melihat ketampanan pemuda itu. Jantungnya
tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada La Upe. Pada
suatu hari, secara diam-diam mereka mengadakan pertemuan di suatu
tempat tanpa sepengetahuan sang Raja dan permaisuri. Dalam pertemuan
itu, mereka saling mengungkap perasaan masing-masing. Akhirnya, mereka
pun bersepakat untuk menikah.
Suatu
hari, La Upe bersama kedua orang tuanya datang melamar sang Putri.
Namun, lamaran mereka ditolak oleh raja dan permaisuri, karena
menganggap La Upe tidak sederajat dengan sang Putri. Sang Putri adalah
seorang keturunan raja, sedangkan La Upe hanya masyarakat biasa dan
miskin. Mendengar penolakan itu, La Upe pun kembali ke rumahnya dengan
perasaan sedih.
Setibanya
di rumah, La Upe pun mencari cara agar dapat menikahi sang Putri.
Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara. Ia akan menarik
simpatik sang Raja dan permaisurinya dengan melekatkan sang Putri pada
pintu. Dengan begitu, tentu tidak ada orang yang bisa menolong sang
Putri kecuali dia. Namun, sebelum melaksanakan niat itu, terlebih
dahulu ia meminta restu kepada sang Putri dan memberitahunya bahwa apa
yang akan dilakukan itu hanyalah sebuah siasat agar bisa menikahinya.
Sang Putri mengerti dan bersedia untuk melaksanakan siasat tersebut,
karena ia mencintai La Upe.
Pada
suatu malam, La Upe menyusup masuk ke dalam kamar sang Putri. Dengan
mantra saktinya, ia melekatkan sang Putri pada pintu kamar. Setelah
itu, ia meninggalkan sang Putri dalam keadaan terlekat di pintu.
Beberapa saat kemudian, seluruh penghuni istana menjadi gempar, termasuk
raja dan permaisuri. Mereka mendapati sang Putri sedang melekat di
pintu kamarnya. Sang Raja pun segera mengerahkan seluruh tabib istana
untuk menolong sang Putri, namun hingga pagi menjelang tak seorang pun
yang berhasil. Akhirnya, sang Raja memutuskan untuk mengadakan
sayembara. Ia pun mengumpulkan seluruh rakyat di halaman istana.
“Wahai,
seluruh rakyatku! Barangsiapa yang sanggup melepaskan putriku dari
pintu, akan kunikahkan dengan putriku. Aku tidak peduli apakah ia orang
biasa ataupun orang miskin. Selain itu, dia juga akan kuangkat menjadi
raja untuk menggantikan aku kelak.”
Setelah
itu, sayembara pun dimulai. Satu persatu peserta sayembara
mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk melepaskan sang Putri dari
pintu, namun tak seorang pun yang berhasil. Kini tinggal satu peserta
yang belum maju, dia adalah La Upe. Dengan tenangnya, ia berjalan masuk
ke dalam istana dan menghampiri sang Putri yang sedang melekat di
pintu, lalu membaca mantra saktinya.
“Tolong lepaskan sang Putri dari pintu, berkat ilmunya raja ikan!”
Sungguh
ajaib. Sang Putri pun terlepas dari lekatan pintu sambil tersenyum
bahagia. Seluruh hadirin terperangah menyaksikan peristiwa itu. Sang
Raja dan permisuri sangat kagum melihat kehebatan La Upe.
“Baiklah,
La Upe! Sesuai dengan janjiku, aku akan menikahmu dengan putriku dalam
waktu dekat. Aku dan seluruh keluarga istana minta maaf karena
sebelumnya telah menolak lamaranmu,” kata sang Raja.
Sepekan kemudian, pesta pernikahan
La Upe dan sang Putri pun dilangsungkan sangat meriah. Berbagai macam
pertunjukan seni musik dan tari dipertontonkan. Seluruh rakyat negeri
pun turut meramaikan pesta tersebut. Mereka sangat berbahagia melihat
pasangan pengantin yang sedang duduk bersanding di pelaminan. Kedua
mempelai benar-benar pasangan yang serasi. La Upe seorang pemuda yang
gagah dan tampan, sedang sang Putri seorang gadis yang cantik nan
rupawan.
La
Upe dan sang Putri pun hidup berbahagia. La Upe mengajak kedua orang
tuanya untuk tinggal di istana. Tidak berapa lama kemudian, La Upe pun
diangkat menjadi raja untuk menggantikan sang Raja. Maka semakin
lengkaplah kebahagiaan La Upe dan istrinya.
* * *
Demikianlah cerita La Upe dari
daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori
dongeng, yakni hanya cerita rekaan belaka. Pesan moral yang dapat
diambil dari cerita atas adalah bahwa menganiaya dan menyiksa orang
lain tanpa alasan yang benar akan membawa malapetaka pada diri sendiri.
Hal ini tergambar pada perilaku I Ruga yang selalu memukul dan
menganiaya anak tirinya, La Upe, jika tidak membawa ikan untuknya.
Akibatnya, ia pun terlekat di pintu rumahnya. Dari sini dapat dipetik
sebuah pelajaran bahwa orang-orang yang teraniaya senantiasa mendapat
pertolongan dari Tuhan Yang Mahakuasa, baik secara langsung mau pun
tidak langsung. Dalam cerita di atas, La Upe digambarkan sebagai orang
yang teraniaya mendapat pertolongan dari Tuhan secara tidak langsung,
tetapi melalui seekor ikan besar. (Samsuni/sas/147/06-09)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari H. Abdul Muthalib dan Muhammad Yusran. 2003. “Orang Yang Terlekat,” dalam Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Sulawesi Selatan,” http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan, diaskes pada tanggal 1 Juni 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar