Di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, Indonesia, beredar sebuah cerita rakyat tentang seorang pemuda bernama I Laurang. I laurang dalam bahasa Bugis terdiri dari tiga suku kata, yaitu I, la dan urang. I berarti si (menunjuk kepada seseorang), la berarti dia laki-laki, dan urang berarti udang. Jadi, I laurang
berarti si laki-laki udang atau manusia udang. Dalam cerita itu, I
Laurang dikisahkan menjadi rebutan tujuh orang putri raja. Mengapa
pemuda itu dinamakan I Laurang dan menjadi rebutan para putri raja?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Laurang berikut ini.
* * *
Alkisah, di
sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sepasang suami-istri
yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Mereka
sangat menginginkan kehadiran seorang anak agar hidup mereka tidak
kesepian. Oleh karena itu, setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada
Tuhan. Namun, hingga berusia paruh baya, mereka belum juga dikaruniai
anak. Akhirnya, mereka pun mulai putus asa.
Pada suatu malam, kedua suami-istri itu berdoa kepada Tuhan dengan berkata:
“Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berupa seekor udang!”
Beberapa
lama kemudian, sang Istri pun hamil dan melahirkan. Namun, alangkah
terkejutnya sang Istri saat melihat bayi yang keluar dari rahimnya
adalah seorang bayi laki-laki yang berbentuk dan berkulit udang. Ia
dapat hidup di darat maupun dalam air. Oleh karena itu, ia diberi nama I Laurang (Manusia Udang).
“Bang! Kenapa anak kita seperti udang?” tanya sang Istri heran.
“Adik
tidah usah heran. Bukankah kita pernah meminta seorang anak walaupun
hanya berupa seekor udang? Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita,” jawab
sang Suami.
“Iya, Bang! Adik ingat sekarang. Kita memang pernah berdoa seperti itu?” kata sang Istri.
Menyadari
hal itu, kedua suami-istri itu merawat I Laurang dengan penuh kasih
sayang. Mereka memasukkannya ke dalam sebuah tempayan yang berisi air.
Beberapa tahun kemudian, I Laurang pun tumbuh menjadi besar. Oleh
karena badannya sudah tidak muat lagi, ia pun dikeluarkan dari
tempayan. Sejak saat itu, I Laurang tidak lagi hidup dalam air. Ia hidup
layaknya manusia lainnya. Namun, ia tidak dapat berjalan karena
kakinya terbungkus oleh kulit udang. Walaupun hanya tinggal di dalam
rumah, ia banyak tahu tentang keadaan dan peristiwa-peristiwa di
sekitarnya yang didengar dari cerita-cerita ibunya.
Suatu waktu, ibunya bercerita bahwa raja yang memerintah negeri itu memiliki tujuh orang putri
yang semuanya cantik jelita. Rupanya sejak mendengar cerita ibunya
itu, ia selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah para putri
raja. Ia juga selalu berangan-angan ingin menikah dengan salah seorang
di antara mereka.
“Alangkah
bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah aku
dapat menikah dengan putri raja dengan kondisiku seperti ini?” tanya I
Laurang dalam hati.
“Ah, aku tidak boleh putus asa dan menyerah sebelum mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat.
Keesokan harinya, ia pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu! Sekarang ananda sudah dewasa. Ananda ingin berumah tangga dan mempunyai keturunan,” ungkap I Laurang.
“Memang kamu mau menikah dengan siapa?” tanya ibunya.
“Ananda ingin menikah dengan putri raja, Bu,” jawab I Laurang.
“Ha, dengan putri raja! Sungguh berat permintaanmu, Nak,” kata ayahnya dengan terkejut.
“Benar, Nak! Mana mungkin raja berkenan menerimamu sebagai menantunya dengan kondisi tubuhmu seperti ini,” tambah ibunya.
“Tapi,
apa salahnya kita mencoba dulu, Bu. Bukankah putri raja itu ada tujuh
orang dan cantik semua. Siapa tahu di antara mereka ada yang mau
menikah denganku,” kata I Laurang mendesak kedua orang tuanya.
Setelah
berkali-kali didesak, akhirnya kedua orang tua I Laurang pergi
menghadap kepada sang Raja yang terkenal arif dan bijaksana itu untuk
menyampaikan pinangan I Laurang.
“Ampun
Baginda, jika kami yang miskin ini sudah lancang masuk ke istana yang
megah ini. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan
anak kami kepada salah seorang putri Baginda,” jelas ayah I Laurang
sambil memberi hormat.
Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun tersenyum manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih.
“Baiklah,
kalau begitu! Aku akan menanyakan hal ini kepada tujuh putriku
terlebih dahulu. Siapa di antara mereka yang bersedia menerima pinangan
I Laurang,” kata Raja.
Setelah
itu, Raja memerintahkan kepada Bendaharanya untuk mengumpulkan seluruh
putrinya. Tidak berapa lama, ketujuh putri raja sudah berkumpul di
ruang sidang. Raja kemudian menanyai satu per satu putrinya mulai dari
yang sulung hingga kepada yang paling bungsu tentang pinangan I Laurang.
“Wahai, Putri Sulung! Bersediakah engkau menikah dengan I Laurang?” tanya Raja.
“Maafkan
Nanda, Ayah! Nanda tidak mau menikah dengan I Laurang. Masih banyak
pangeran dan pemuda tampan yang sepadan dengan Nanda,” kata si Putri
Sulung menolak pinangan I Laurang.
Selanjutnya,
Raja bertanya kepada putri keduanya. Namun, jawabannya sama dengan
jawaban yang diberikan oleh si Putri Sulung. Demikian pula
putri-putrinya yang berikutnya, mereka memberikan jawaban penolakan
terhadap pinangan I Laurang. Akan tetapi, ketika pertanyaan itu
ditujukan kepada si Bungsu, ia pun menjawab:
“Ampun Ayahanda! Jika Ayahanda berkenan, Nanda bersedia menikah dengan I Laurang”.
“Baiklah, Putriku! Ayahanda akan merestui kalian. Pesta pernikahan kalian akan kita langsungkan tiga hari lagi,” kata Raja.
Mendengar
jawaban si Putri Bungsu dan restu dari Raja, ayah dan ibu I Laurang
sangat gembira. Dengan perasaan suka cita, mereka pun mohon pamit
kepada Raja untuk segera menyampaikan berita gembira itu kepada I
Laurang.
“Benarkah Raja menerima pinanganku, Ibu?” tanya I Laurang seakan-akan tidak percaya mendengar berita itu.
“Benar, Anakku! Putri bungsu Raja yang bersedia menikah denganmu,” jawab ibu I Laurang.
Yakin
pinangannya diterima, I Laurang langsung keluar dari kulit kepompong
udangnya. Alangkah terkejutnya kedua orang tuanya saat melihat wajah
anaknya.
“Waaah,
ternyata kamu tampan dan gagah, Anakku!” seru ibunya dengan takjub
sambil mengamati seluruh tubuh I Laurang dari ujung kaki hingga ke
ujung rambut.
“Putri Bungsu pasti akan senang sekali mempunyai suami setampan kamu, Nak,” ujar ayah I Laurang.
Setelah
itu, dengan ditemani ibunya, I Laurang pergi mencukur rambutnya yang
sangat panjang, karena sejak kecil tidak pernah dipotong. Setiap
bertemu warga di jalan, ibu I Laurang selalu ditanya tentang orang yang
berjalan bersamanya.
“Siapa lelaki tampan yang berjalan di sampingmu itu?” tanya salah seorang warga kepada ibu I Laurang.
“Dia anakku, I Laurang, yang akan menikah dengan putri raja,” jawab ibu I Laurang.
Semua
orang tercengang ketika mengetahui bahwa lelaki tampan itu adalah I
Laurang. Selama ini, mereka mengenal I Laurang berwajah buruk seperti
udang.
Saat
pesta pernikahan berlangsung, seluruh keluarga istana terkejut melihat
ketampanan I Laurang, terutama si Putri Bungsu dan keenam kakaknya.
Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata I Laurang seorang
pemuda yang tampan. Berbeda dengan berita yang mereka dengar bahwa I
Laurang itu buruk rupa seperti udang.
Si
Putri Bungsu pun hidup berbahagia bersama I Laurang. Sementara keenam
kakaknya iri hati dan dengki kepadanya. Mereka berniat merebut suami
adiknya dengan cara mencelakai si Bungsu. Namun, niat jelek mereka
diketahui oleh I Laurang. Oleh karena itu, I Laurang selalu menemani si
Bungsu ke mana pun pergi, agar tidak diganggu oleh keenam kakaknya.
Pada
suatu hari, I Laurang terpaksa harus meninggalkan istrinya, karena
mendapat tugas dari aja untuk pergi berdagang ke daerah lain. Sebelum
berangkat, I Laurang berpesan kepada istrinya.
“Dinda!
Abang akan pergi berdagang ke negeri seberang. Dinda harus
berhati-hati terhadap kakak-kakak Dinda. Rupanya mereka iri hati dan
ingin mencelakai Dinda. Oleh karena itu, ambil dan bawalah pinang dan
telur ini ke manapun Dinda pergi,” ujar I Laurang kepada istrinya.
“Baik, Kanda! Dinda akan selalu mengingat pesan Kanda,” jawab sang Putri Bungsu.
Setelah
suami si Putri Bungsu berangkat, keenam kakaknya mengajaknya bermain
ayunan di tepi laut. Si Bungsu pun menerima ajakan mereka tanpa ada
rasa curiga sedikitpun. Sesampainya di tepi laut, mereka bergiliran
diayun. Ketika giliran si Putri Bungsu diayun, mereka beramai-ramai
mengayunnya dengan kencang.
“Kak, hentikan! Kepalaku sudah pening dan peruktu mual. Hentikan...!!!” teriak si Putri Bungsu dengan ketakutan.
Keenam
kakaknya tidak menghiraukan teriakannya. Mereka justru mengayunnya
lebih kencang sehingga si Putri Bungsu terlempar ke laut dan tenggelam.
Melihat kejadian itu, keenam kakaknya bersorak gembira dengan perasaan
puas. Setelah itu, mereka pun pulang ke istana melapor kepada Raja
bahwa si Bungsu meninggal dunia karena dimakan ikan saat mandi di tepi
laut. Maka tersebarlah berita bahwa istri I Laurang meninggal dunia
karena dimakan ikan.
Sementara
itu, berkat pertolongan Tuhan, si Putri Bungsu yang tenggelam di laut
masih hidup. Ia pun teringat dengan buah pinang dan telur pemberian
suaminya. Buah pinang itu ia tanam di dasar laut, sedangkan telurnya ia
pecahkan. Lama-kelamaan pecahan telur menjadi besar dan masuklah ia ke
dalamnya untuk berlindung.
Beberapa
bulan kemudian, buah pinang yang ditanamnya itu tumbuh menjadi pohon
besar dan tinggi, sehingga melebihi permukaan air laut. Selang beberapa
minggu, si Putri Bungsu menjelma menjadi seekor ayam dan kemudian
bertengger di atas pohon pinang. Setiap ada perahu yang lewat, ayam itu
selalu berkokok dan bertanya tentang keberadaan suaminya.
“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang? Bunga Putih nama perahunya!”
Demikian yang terus dilakukan ayam itu setiap ada perahu lewat.
Pada
suatu hari, dari jauh tampaklah sebuah perahu yang akan melewati
tempat ayam itu bertengger. Ketika kapal itu sudah dekat, ayam itu
berkokok dengan sekeras-kerasnya dan menanyakan keberadaan suaminya.
“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang?”
Mendengar teriakan ayam itu, tiba-tiba seorang lelaki tampan keluar dari dalam kapal dan berdiri di anjungan.
“Aku I Laurang,” teriak lelaki tampan itu.
Kapal
itu mendekati ayam yang sedang bertengger di atas pohon pinang. Saat
kapal itu semakin dekat, ayam itu langsung terbang ke kapal sambil
menangis.
“Bang! Ini aku Putri Bungsu, istrimu,” kata ayam itu.
I
Laurang pun segera mengelus-ngelus ayam itu sambil mulutnya
komat-kamit membaca mantra. Beberapa saat kemudian, atas kuasa Tuhan,
ayam itu berubah kembali menjadi si Putri Bungsu. Kedua suami-istri itu
berpelukan sambil menangis. Setelah itu, si Putri Bungsu menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya hingga ia menjelma menjadi seekor ayam.
“Sudahlah,
Dinda! Mari kita kembali ke istana. Tentu ayahanda, ibunda, serta
keenam kakakmu sudah lama menunggumu,” ujar I Laurang kepada istrinya.
“Tapi,
Bang! Bagaimana dengan keenam kakakku? Mereka pasti akan mencari cara
lain untuk menyingkirkan Dinda, sehingga mereka bisa menikah dengan
Abang,” kata si Putri Bungsu dengan perasaan cemas.
“Dinda
tidak usah khawatir. Abang mempunyai cara agar keenam kakak Dinda itu
menjadi jera dan tidak akan mengganggu Dinda lagi,” ujar I Laurang
menenangkan istrinya.
“Bagaimana caranya, Bang?” tanya si Putri Bungsu penasaran.
“Dinda
bersembunyi di dalam peti itu. Kemudian Abang memberi Dinda jarum
besar. Jika ada yang memikul peti itu, maka tusuklah pundaknya,” jelas I
Laurang.
“Baik, Bang!” jawab si Putri Bungsu sambil mengangguk-angguk.
Ketika
kapal yang mereka tumpangi merapat di pelabuhan, seluruh keluarga
istana datang menyambut kedatangan I Laurang, tidak terkecuali keenam
kakak si Putri Bungsu. Mereka senang sekali I Laurang telah kembali.
Dalam hati mereka bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan
dipilih oleh I Laurang untuk menjadi istrinya. Oleh karena itu, mereka
selalu berusaha mencari perhatian I Laurang. Ternyata I Laurang pun
sudah memahami sikap dan gerak-gerik mereka.
“Barangsiapa
di antara kalian yang mampu memikul peti itu sampai ke istana, maka
dialah yang akan menjadi istriku,” ujar I Laurang sambil menunjuk peti
yang berisi Putri Bungsu.
Mendengar
pernyataan I Laurang itu, maka berlomba-lombalah mereka ingin
mengangkat peti itu. Giliran pertama jatuh pada putri yang sulung.
Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat peti itu ke atas pundaknya. Namun,
baru beberapa langkah berjalan, ia menghempaskan peti itu, karena tidak
kuat menahan rasa sakit akibat terkena tusukan jarum di pundaknya.
Putri Sulung gagal menjadi istri I Laurang. Selanjutnya giliran putri
kedua yang mengangkat peti itu. Namun, baru beberapa meter berjalan, ia
menjatuhkan peti itu, karena tidak mampu menahan rasa sakit di
pundaknya. Demikian pula putri ketiga, keempat, kelima dan keenam,
gagal memikul peti itu sampai ke istana.
“Oleh karena tidak seorang pun yang berhasil, maka kalian gagal menjadi istriku,” kata I Laurang dengan perasaan puas.
Setelah
itu, I Laurang memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengikat
peti itu dengan tali, lalu mengangkatnya beramai-ramai ke istana.
Sesampainya di istana, I Laurang kemudian menjelaskan apa sebenarnya
isi peti itu.
“Pengawal! Buka peti itu!” seru I Laurang kepada salah seorang pengawal.
“Baik, Tuan!” jawab pengawal itu.
Setelah
peti terbuka, alangkah terkejutnya keenam putri raja tersebut, karena
ternyata isi peti itu adalah si Putri Bungsu yang mereka kira sudah
meninggal dunia. Oleh karena tidak kuat menahan rasa malu kepada adiknya
dan I Laurang, keenam kakaknya itu berlari berhamburan. Putri Sulung
berlari ke arah pintu, putri kedua dan ketiga berlari ke dapur, putri
keempat dan kelima berlari keluar dari istana, dan putri keenam berlari
ke dekat sumur.
Akhirnya,
si Putri Bungsu pun diangkat menjadi Raja untuk menggantikan ayahnya,
sedangkan keenam kakaknya menjadi pelayannya. Putri Sulung yang berlari
ke arah pintu bertugas membuka dan menutup pintu; putri kedua dan
ketiga yang berlari ke dapur bertugas memasak; putri keempat dan kelima
yang berlari keluar istana bertugas menumbuk padi di lesung; dan putri
keenam yang berlari ke dekat sumur bertugas mencuci.
* * *
Demikian cerita I Laurang
dari daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas termasuk
dongeng yang mengandung nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang
dapat diambil dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari
sifat iri hati dan dengki. Sifat ini tergambar pada sikap dan perilaku
keenam putri raja yang iri hati dan dengki kepada adiknya dan mencoba
untuk membunuhnya. Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini adalah
bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang
mengarah pada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain dan bahkan
terhadap keluarga sendiri.
Dari
cerita ini juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwa orang-orang yang
teraniaya akan selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci
orang muak Tuhan pun benci
Pelajaran
lain yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa jika kita berdoa
kepada Tuhan, hendaknya lebih berhati-hati. Di samping itu juga,
sebaiknya kita harus berlapang dada menerima semua pemberian Tuhan
apapun bentuknya, karena terkadang di balik pemberian itu terdapat
sebuah hikmah yang bermanfaat yang tidak pernah kita duga sebelumnya. (SM/sas/84/05-08)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Suku Bugis”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis, diakses tanggal 27 Juni 2008)
- Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar