Si
Penakluk rajawali adalah seorang pemuda yang tinggal di sebuah daerah
di Sulawesi Selatan, Indonesia. Pemuda tersebut dinikahkan dengan putri
raja, karena berhasil memenangkan sayembara menaklukkan seekor
rajawali raksasa. Dalam rangka apa raja negeri itu mengadakan sayembara?
Lalu, bagaimana pemuda itu menaklukkan rajawali raksasa tersebut?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Si Penakluk Rajawali berikut ini.
* * *
Konon, pada zaman dahulu kala ada
sebuah negeri di daerah Sulawesi Selatan yang diperintah oleh seorang
raja. Raja tersebut mempunyai tujuh orang putri. Menurut adat di kerajaan
itu, jika raja memiliki putri sampai tujuh orang, maka salah seorang
di antaranya harus dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa agar
keluarga istana terhindar dari malapetaka. Hal tersebut membuat sang
Raja sedih dan gelisah, karena ia tidak mau kehilangan salah seorang
putrinya. Ia pun berpikir keras mencari jalan keluar bagaimana caranya
agar ketujuh putrinya tersebut dapat hidup
semua. Sudah berhari-hari sang Raja tidak enak makan dan tidak nyenyak
tidur memikirkan hal itu. Hingga pada suatu hari, tiba-tiba sesuatu
terlintas dalam pikirannya.
“Mmm...,
bagaimana kalau aku mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali
itu. Barangkali di antara rakyatku ada yang mempunyai kesaktian yang
tinggi dan mampu melumpuhkan rajawali itu,” pikir sang Raja.
Keesokan harinya, sang Raja segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di depan istana.
“Wahai,
rakyatku! Aku akan mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali
raksasa itu. Siapapun yang berhasil menaklukkannya, jika dia seorang
laki-laki maka aku akan menikahkannya dengan putriku, dan jika dia
seorang perempuan, maka aku akan mengangkatnya menjadi keluarga
istana!” seru sang Raja kepada seluruh rakyatnya.
“Ampun, Baginda! Kapan sayembara tersebut akan dilaksanakan?” tanya seorang warga dengan penuh semangat.
“Menurut
penasehat istana, rajawali raksasa itu akan datang ke negeri ini
seminggu lagi. Jadi, mulai sekarang latih dan perdalamlah ilmu dan
kesaktian kalian!” seru sang Raja.
Mendengar
seruan itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. Seminggu
sebelum kedatangan rajawali tersebut, para warga tampak ramai melatih
dan memperdalam ilmu kesaktian mereka dengan penuh semangat. Para
laki-laki berharap dapat menjadi menantu raja, sedangkan kaum perempuan
berharap dapat menjadi keluarga istana.
Sementara itu, para pengawal istana sedang membuat sebuah baruga (pendapa) di sebuah tempat yang agak jauh dari istana. Baruga tersebut merupakan tempat tinggal sang Putri sebelum disantap rajawali. Sang Putri sengaja dibuatkan baruga untuk memancing kedatangan burung rajawali tersebut. Selain sajian berupa anak gadis, juga disiapkan segala macam kue-kue, sokko (bahasa Bugis: nasi ketan), dan minuman di tempayan untuk burung rajawali tersebut.
Tidak
terasa seminggu telah berlalu. Hari kedatangan rajawali itu pun tiba.
Pagi-pagi sekali salah seorang putri raja yang menjadi persembahan
diantar ke baruga tersebut. Sang putri diantar oleh keluarga dan
pengawal istana. Bahkan banyak warga yang ikut mengantarnya. Mereka
sangat khawatir terhadap nasib sang Putri yang akan menjadi santapan
rajawali tersebut sekiranya tidak ada warga yang mampu mengalahkannya.
“Maafkan
Ayah, Putriku! Ayah melakukan semua ini karena adat di negeri ini.
Tapi, Nanda tidak usah khawatir, Ayah sedang berusaha untuk
menyelamatkan Nanda dengan mengadakan sayembara ini. Semoga di antara
warga ada yang mampu mengalahkan burung rajawali itu,” ucap sang Raja
menenangkan hati putrinya.
Menjelang
kedatangan rajawali itu, sang Raja bersama keluarga dan pengawal
istana bergegas kembali ke istana dengan perasaan cemas. Tinggallah
sang Putri seorang diri di atas baruga itu. Sementara itu, di sekitar tempat baruga
itu berdiri, para peserta sayembara sudah bersiap-siap menyambut
kedatangan burung rajawali dengan berbagai macam senjata di tangan
mereka. Ada yang membawa tombak yang sudah dibubuhi racun, ada yang
membawa tali untuk mengikat leher rajawali tersebut, dan ada pula yang
membawa bambu runcing.
Tidak
lama kemudian, seorang pemuda pengembara melintas di tempat itu. Ia
melihat seorang gadis cantik sedang duduk termenung di atas baruga. Ia pun segera naik ke atas baruga dan menghampiri gadis itu.
“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu sedih dan duduk sendirian di sini?” tanya pemuda itu dengan perasaan iba.
“Aku sedang menunggu ajal,” jawab sang Putri dengan suara lirih.
“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu penasaran.
“Aku
adalah seorang putri raja dan mempunyai enam orang saudara perempuan.
Menurut adat di negeri ini, jika putri raja sudah berjumlah tujuh
orang, maka salah seorang di antaranya harus dipersembahkan kepada
seekor rajawali raksasa untuk disantap,” jelas sang Putri.
“Tapi, jika ada orang yang mampu menaklukkan rajawali itu, maka raja akan menikahkannya denganku,” tambah sang Putri.
“Maaf, Tuan Putri! Jika diperkenankan, hamba akan menemani sang Putri di sini,” kata pemuda itu.
“Jangan! Nanti kamu ikut dimakan rajawali itu.”
“Tidak usah khawatir, Tuan Putri! Hamba akan melindungi Tuan Putri dari sergapan rajawali itu.”
Sambil menuggu rajawali itu, tiba-tiba pemuda itu mengantuk sekali dan akhirnya tertidur di atas baruga itu. Sang Putri pun memerhatikan pemuda itu.
“Baik
sekali pemuda ini. Semoga dia mampu mengalahkan rajawali itu, sehingga
dialah yang akan menikah denganku,” kata sang Putri dalam hati dengan
penuh harap.
Ketika
hari beranjak siang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh laksana angin
topan datang menerjang. Dari kejauhan tampak seekor burung raksasa
sedang terbang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya menuju ke arah baruga. Mengetahui bahwa yang datang adalah burung rajawali raksasa itu, maka sang Putri segera membangunkan pemuda itu.
“Ayo, Bangun! Rajawali raksasa itu sudah datang!” seru sang Putri.
Pemuda
itu pun segera bangun sambil mengusap-usap matanya. Rajawali itu
semakin mendekat. Sang Putri yang ketakutan segera bersembunyi di
belakang pemuda itu sambil menutup matanya. Sementara sang Pemuda
segera mengeluarkan senjata pusakanya berupa sebilah badik yang dapat
menikam sendiri dan seutas tali yang dapat mengikat sendiri. Begitu
hinggap di baruga, rajawali itu langsung menyantap kue-kue, sokko,
dan minuman yang tersedia. Setelah menghabiskan makanan dan minuman
sesaji tersebut, rajawali itu bersiap untuk menyantap sang Putri.
Melihat
keadaan itu, sang Pemuda segera bertindak. Ia memerintahkan talinya
untuk mengikat rajawali itu. Secepat kilat, tali ajaib itu meluncur dan
melilit seluruh tubuh rajawali itu. Sang rajawali berusaha melepaskan
lilitan tali itu dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Beberapa saat
kemudian, tali itu mengendor karena tidak kuat menahan kepakan sayap
rajawali itu.“Tuan, tolong aku! Aku tidak sanggup menahan kepakan sayap
rajawali ini,” seru tali itu meminta tolong kepada tuannya.
Tanpa berpikir panjang, pemuda itu pun segera memerintahkan badiknya.
“Hai badikku, tikam rajawali itu!” seru sang Pemuda.
Secepat
kilat, badik sakti itu langsung menikam dan terus menikam hingga
rajawali itu mati. Sang putri masih menutup matanya, karena ketakutan.
Ia hanya mendengar suara pemuda itu sedang berbicara dengan seseorang.
Namun, setelah membuka matanya, sang Putri merasa heran, karena tidak
ada orang lain kecuali dia dan pemuda itu.
Para
warga yang bersembunyi di sekitar tempat itu baru muncul setelah tahu
rajawali itu mati. Senjata yang ada di tangan mereka tidak sempat
mereka gunakan, karena pemuda itu dengan cepat sekali melumpuhkan
rajawali itu. Akhirnya, para peserta sayembara yang merasa dirinya
sakti segera mencincang dan memotong-motong tubuh rajawali itu.
Sementara
pemuda yang telah mengalahkan rajawali itu berpamitan kepada sang
Putri ingin melanjutkan perjalanannya. Sebagai ucapan terima kasih,
sang Putri memberikan selandangnya kepada pemuda itu.
“Terima kasih! Anda telah menyelamatkan nyawaku. Bawalah selendang ini sebagai cenderamata dariku,” ucap sang Putri.
Setelah
pemuda itu pergi, sang Putri diusung oleh warga kembali ke istana.
Sebagian warga yang merasa dirinya sakti saling berebut ingin membawa
tubuh rajawali itu ke hadapan sang Raja. Namun, karena tubuh rajawali
itu besar, maka para warga membagi-baginya. Ada yang membawa kepala, ada
yang memikul paha, dan ada yang mengambil kaki rajawali itu. Mereka
berebut tubuh rajawali, karena ingin dikatakan sebagai pahlawan yang
berhasil mengalahkan rajawali itu.
Sesampainya
di istana, sang Putri disambut gembira oleh sang Raja dan seluruh
keluarga istana. Sang raja kemudian bertanya kepada putrinya tentang
siapa orang yang berhasil mengalahkan rajawali itu.
“Ampun, Ayahanda! Ananda tidak mengenalnya. Sepertinya pemuda gagah itu bukanlah warga negeri ini,” jawab sang Putri.
“Tapi, apakah Nanda tahu bagaimana dan dengan apa pemuda itu mengalahkan rajawali itu?” tanya sang Raja.
“Ananda
juga tidak tahu, Ayah! Waktu itu Nanda sedang menutup mata karena
ketakutan. Nanda hanya mendengar pemuda itu berseru: `Ikat rajawali
itu...! Tikam raja wali itu...! Saat Nanda membuka mata, ternyata
rajawali itu sudah mati,” cerita sang Putri.
“Tapi, jika bertemu lagi dengan pemuda itu, apakah Nanda dapat mengenalnya?” sang Raja kembali bertanya.
“Iya,
Ayah! Saya dapat mengenal pemuda itu, karena sebelum ia pergi, Nanda
memberikan selendang Nanda kepadanya,” jawab sang Putri.
Setelah
mendengar cerita putrinya itu, sang Raja pun mengerti bahwa orang yang
berhasil melumpuhkan rajawali itu bukanlah rakyat negeri itu. Kemudian
ia segera menemui para peserta sayembara yang sudah berkumpul di
halaman istana.
“Wahai,
seluruh rakyatku! Berdasarkan cerita dari putriku bahwa orang yang
telah mengalahkan rajawali itu adalah seorang pemuda yang tidak
dikenal. Ia bukan warga negeri ini. Oleh karena itu, walaupun rajawali
itu telah mati, tidak seorang pun di antara kalian yang kunikahkan
dengan putriku. Akan tetapi, aku akan mengadakan pesta besar-besaran
atas matinya rajawali itu,” kata sang Raja.
Keesokan
harinya, pesta besar-besaran pun berlangsung ramai. Berbagai jenis
makanan dan minuman disuguhkan. Tidak ketinggalan pula berbagai seni
pertunjukan dipertontonkan. Bahkan dalam pesta itu, raja juga mengadakan
lomba sepak raga (bola kaki). Para warga berbondong-bondong ke
pesta tersebut, baik sebagai peserta lomba maupun sebagai penonton
ataupun undangan. Di serambi istana, sang Raja bersama permaisuri dan
ketujuh putrinya sedang duduk menyaksikan lomba sepak raga.
Peserta lomba silih berganti masuk arena lomba memainkan bola. Di
tengah keramaian penonton, tiba-tiba seorang pemuda gagah memasuki
arena lomba. Pemuda itu mempermainkan bola di kaki, di paha, dan di
kepalanya dengan tangkas, gesit dan lincah. Lengan pemuda itu dibalut
dengan selendang wanita yang berkibar-kibar seakan-akan menari.
“Ayah!
Itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali raksasa!” seru sang
Putri sambil menunjuk ke arah pemuda yang berada di tengah arena lomba.
Sang Raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang disaksikannya. Ternyata,
selain sakti, pemuda itu juga sangat mahir bermain sepak raga. Sang
Raja sangat kagum kepada pemuda itu. Setelah pemuda itu keluar dari
arena lomba, sang Raja pun memanggil pemuda itu.
“Hei, anak muda! Kemarilah sebentar!” seru sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil Hamba?” tanya pemuda itu penasaran.
“Benarkah Engkau yang telah mengalahkan rajawali itu?” sang Raja balik bertanya.
“Benar, Baginda!” jawab pemuda itu.
“Dengan apa kamu mengalahkannya?” tanya sang Raja.
“Ampun,
Baginda! Hamba menggunakan seutas tali dan sebilah badik yang dapat
bergerak sendiri jika diperintah,” jawab pemuda itu.
Mendengar
jawaban dari pemuda itu, semua warga yang hadir dan pernah mengaku
sebagai penakluk rajawali itu menjadi malu. Akhirnya, sang Raja pun
menikahkan pemuda itu dengan putrinya yang selamat dari santapan
rajawali. Pemuda si penakluk rajawali pun hidup berbahagia bersama sang
Putri di dalam istana.
* * *
Demikian cerita Si Penakluk Rajawali
dari daerah Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam
kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral
yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat
kepahlawanan atau kesatria dan akibat buruk dari sifat ketidakjujuran.
Pertama,
sifat kepahlawanan atau kesatria. Sifat ini tercermin pada perilaku si
pemuda pengembara yang dengan keberaniannya, berhasil menumpas
kejahatan dan keganasan seekor rajawali raksasa. Dikatakan dalam
untaian syair Melayu:
wahai ananda tegakkan kepala,
orang teraniaya wajib kau bela
melawan yang batil janganlah kau jera
musuh yang datang jangan kau kira
orang teraniaya wajib kau bela
melawan yang batil janganlah kau jera
musuh yang datang jangan kau kira
Pelajaran
lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa pangkat,
kedudukan, dan wanita dapat membuat seeorang berperilaku tidak jujur.
Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang membawa
tubuh rajawali untuk membuktikan kepada raja bahwa merekalah yang telah
menaklukkan rajawali itu agar diangkat menjadi keluarga atau menantu
raja. Padahal sebenarnya, bukan mereka yang telah menaklukkan rajawali
itu. Akibatnya, mereka pun menjadi malu setelah sang Raja mengetahui
bahwa penakluk rajawali itu adalah seorang pemuda pengembara, bukan
mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
karena tak jujur, hidup hancur
karena tak jujur, aib bertabur
karena tak jujur, hilanglah mujur
karena tak jujur, badan terkubur
karena tak jujuranak bini kebulur
karena tak jujur, muka berlumpur
karena tak jujur, penat berjemur
karena tak jujur, kepala bertelur
karena tak jujur, aib bertabur
karena tak jujur, hilanglah mujur
karena tak jujur, badan terkubur
karena tak jujuranak bini kebulur
karena tak jujur, muka berlumpur
karena tak jujur, penat berjemur
karena tak jujur, kepala bertelur
(Samsuni/sas/87/07-08)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Sulawesi Selatan”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan, diakses tanggal 15 Juli 2008.
- Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar