Luwu adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, yang memiliki luas 3.098,97 km2.
Dalam perkembangannya, Kabupaten Luwu dimekarkan menjadi tiga daerah
strategis, yaitu Kabupaten Luwu Utara yang kemudian dimekarkan lagi
menjadi Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Dahulu, Kabupaten Luwu
merupakan pusat kerajaan Bugis tertua yang bernama Kerajaan Luwu, yaitu
bermula sebelum abad ke-14 dan berakhir abad ke-16 M. Kerajaan Luwu
atau yang biasa juga dieja Luwuq, Luwok, atau Luwu‘, tertera dalam epik I La galigo[1] bersama dua kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompoktikka. Namun,
keberadaan kedua kerajaan yang terakhir disebutkan tidak dapat
dipastikan, karena tidak ada bukti-bukti yang nyata mengenai wujud kedua
kerajaan tersebut.
Lain
halnya dengan Kerajaan Luwu, ia merupakan sebuah kerajaan yang pernah
ada di Sulawesi Selatan. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sebuah
istana yang terletak di tengah Kota Palopo (kini menjadi salah satu
kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan), yang bernama Istana
Luwu. Istana ini dibangun kembali oleh Pemerintah Kolonial Belanda
sekitar tahun 1920-an Masehi di atas tanah bekas “Saoraja” (Istana
sebelumnya yang terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah). Dalam
sebuah cerita rakyat masyarakat Luwuk disebutkan bahwa pada zaman
dahulu, Kerajaan Luwu pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama
La Busatana Datu Maongge atau sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Ia
memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Tandampalik.
Menurut adat yang berlaku di Kerajaan Luwu, bahwa seorang putri Luwu
tidak boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Hal inilah yang
membuat Datu Luwu menjadi bimbang. Jika ia menolak setiap lamaran yang
datang kepadanya, ia khawatir akan terjadi peperangan dan membuat
rakyatnya menderita. Pada suatu hari, utusan Raja Bone[2] datang
kepadanya ingin melamar Putri Tandampalik. Bersediakah Datu Luwu
menerima lamaran Putra Mahkota Raja Bone? Akankah terjadi perang antara
Kerajaan Luwu dengan Kerajaan Bone? Lalu, bagaimana nasib Putri
Tandampalik? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Tandampalik berikut ini.
* * *
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan,
berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini
dipimpin oleh seorang raja atau datu yang bernama La Busatana
Datu Maongge, atau sering dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah
seorang raja yang adil, arif dan bijaksana, sehingga rakyatnya hidup
makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang putri yang cantik
jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita
kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di
Sulawesi Selatan.
Pada
suatu hari, Raja Bone ingin menikahkan putranya dengan Putri
Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa pengawal istana ke Kerajaan Luwu
untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu, utusan tersebut
disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami adalah
utusan Raja Bone,” lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada
Datu Luwu. “Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh
Raja kalian ke istana kami?,” tanya Datu Luwu dengan penuh wibawa.
“Ampun, Baginda! Perkenankanlah kami untuk menyampaikan lamaran Raja
Bone untuk putranya kepada putri Baginda yang bernama Putri
Tandampalik,” jawab utusan itu memberi hormat.
Mendengar
lamaran itu, Datu Luwu terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil
keputusan, menerima atau menolaknya, sebab dalam adat Kerajaan Luwu,
seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri
lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia khawatir akan terjadi
perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga membuat rakyat
menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih kebingungan
untuk memberikan jawaban. “Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa
di Kerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri
Luwuk tidak boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu,
tolong sampaikan kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa
hari untuk memikirkan lamarannya tersebut,” ujar Datu Luwu. Utusan Raja
Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali ke
Kerajaan Bone untuk menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone.
Keesokan harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur
tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat
menjijikkan. Para tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik
terserang penyakit menular yang sangat berbahaya. Berita
tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah tersebar ke seluruh
negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas penyakit yang diderita
oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir dan
menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke
suatu tempat yang jauh. Ia
khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya.
“Putriku! Demi keselamatan seluruh rakyat di negeri ini, relakah engkau
jika Ayah mengasingkanmu ke daerah lain?” tanya Raja Luwu pada
putrinya. “Jika itu adalah jalan yang terbaik, Ananda menerima
keputusan Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima keputusan
ayahnya dengan tulus.
Dengan
berat hati, Datu Luwu terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat
dicintainya itu. Berangkatlah sang Putri dengan perahu bersama
beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberikan
sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda bahwa ia
tidak pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah mempersiapkan
segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu daerah
yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar
tanpa arah dan tujuan.
Pada
suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah pulau dari kejauhan. “Lihat,
Tuan Putri!” seru seorang pengawal sambil menunjuk ke arah pulau itu. “Akhirnya,
kita pun menemukan pulau,” jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para
pengawal pun semakin cepat mengayuh perahunya mendekati pulau itu.
“Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya pulau itu belum terjamah
oleh manusia,” sahut pengawal yang lain dengan kagum.
Tak
berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang
lebih dahulu menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu kemudian memetik beberapa biji buah wajao untuk sang Putri. “Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo[3],”
kata sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri
Tandampalik beserta pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup
dengan penuh kesederhanaan. Meskipun demikian, mereka tetap bekerja
keras penuh dengan semangat dan gembira. Hari berganti hari, minggu
berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu tahun sudah
mereka berada di tempat itu.
Suatu
waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah
pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati
kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri hendak mengusirnya.
Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, ia
diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali dijilat oleh kerbau
itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang tanpa
bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti
sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena
penyakitnya telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para pengawalnya,
“Mulai saat ini, aku minta kalian untuk tidak menyembelih atau memakan
kerbau putih yang ada di pulau ini, karena hewan itu telah
menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi
oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih yang ada di Pulau
Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian oleh masyarakat
setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.[4]
Pada
suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah
Putra Mahkota Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru[5]
Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking
asyiknya berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah
terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak
memanggil panglima dan para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...!
Aku di sini, kalian di mana...?” Berkali-kali sang Putra Mahkota
berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang malam, ia pun memutuskan
untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan
seharian berburu.
Malam
semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya.
Suara-suara binatang malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di
tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari
kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang. Ia sangat
penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri untuk
mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota
berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam.
Akhirnya, sampailah ia di sebuah perkampungan yang ramai dengan
rumah-rumah penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber
cahaya itu semakin jelas terdapat di sebuah rumah yang nampak kosong.
Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota mendekati dan memasuki
rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis yang
cantik sekali bak bidadari sedang menjerang (memasak) air di dalam
rumah itu. Gadis
cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah
aku. Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,”
kata Putra Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.
Putri
Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri
tergagap, “Tampan sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana
asalnya? Sepertinya dia bukan penduduk sini,” kata sang Putri dalam
hati. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri
Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota.
Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati.
Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis
yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang
sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati. Namun,
Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo menemani Putri
Tandampalik, karena ia harus kembali ke negerinya untuk menyelesaikan
beberapa kewajibannya di Istana Bone.
Sejak
perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota
selalu teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya
Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih
dulu tiba di negeri Bone setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau
Wajo, mengetahui apa yang dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering
melihat Putra Mahkota duduk termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh
karena tidak ingin melihat tuannya terus bersedih, maka Anreguru
Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan semua kejadian yang
pernah mereka alami di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba
mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar Putri Tandampalik,” usul
Anreguru Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan
Anreguru itu, Raja Bone segera mengutus beberapa pengawalnya
mendampingi Putra Mahkota untuk melamar Putri Tandampalik di Pulau
Wajo.
Sesampainya
di pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra
Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan
ayahnya ketika ia diasingkan. “Maaf, Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima
lamaran kalian. Bawalah keris ini kepada Ayahandaku. Jika Ayahandaku
menerima keris ini berarti lamaran kalian diterima,” ujar sang Putri
seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah bermusyawarah dengan
pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat sendiri ke
Kerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan semangat.
Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya
dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu
Luwu.
Datu
Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu
Luwu sangat kagum dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa
bahwa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata
lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang lagi, Datu
Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini berarti bahwa
lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan
permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri
kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat
mengharukan. “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ke tempat ini,”
Datu Luwu minta maaf sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru Ayah
harus bersyukur, karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular
yang menimpa diriku,” kata Putri Tandampalik.
Beberapa
hari kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja
Bone di Pulau Wajo. Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah.
Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat
gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra
Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik
tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin
bertambahlah kebahagiaan mereka.
* * *
Ada
beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari cerita rakyat di atas, di
antaranya sifat bijak, sopan, rendah hati atau tidak sombong. Sifat
bijak tercermin pada sifat Datu Luwu. Ia sangat bijaksana mengambil
keputusan untuk mengasingkan putri kesayangannya ke tempat yang jauh,
demi keselamatan rakyatnya agar tidak ketularan penyakit kusta yang
diderita putrinya itu. Sifat rendah hati atau tidak sombong tercermin
pada sifat Putra Mahkota Raja Bone. Meskipun sebagai calon
raja, ia selalu bertutur kata halus kepada siapa saja, rendah hati dan
tidak sombong. Kesemua sifat tersebut termasuk ke dalam sifat terpuji
yang patut untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat
bijak yang dimiliki seseorang akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri
bagi pemiliknya. Ketika menjadi seorang guru yang bijak, guru tersebut
akan disukai oleh murid-muridnya. Seorang pemimpin yang bijaksana
biasanya disegani oleh kawan maupun lawannya. Demikian pula orang tua yang bijaksana akan dicintai oleh anak-anaknya.
Ada
beberapa cara untuk menjadi orang yang bijak, di antaranya tidak
emosional, tidak egois dan memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama.
Pertama,
tidak emosional, yaitu terampil mengendalikan diri dari sifat amarah,
ketersinggungan, dan temperamental. Orang-orang yang emosional akan
sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena
yang ia cari adalah kemenangan pribadi, bukan kebenaran itu sendiri. Kedua,
tidak egois, yaitu orang yang tidak menginginkan kebaikan untuk
dirinya sendiri. Orang yang bijaksana adalah orang yang mau berkorban
untuk orang lain, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan
dirinya sendiri. Ketiga, memiliki sifat kasih sayang terhadap
sesama manusia. Orang yang bijaksana akan selalu sayang terhadap
sesama, tanpa harus pandang bulu. Kasih sayangnya tidak hanya untuk satu
pihak atau kelompok, melainkan merata untuk semua golongan.
Sementara
sifat rendah hati merupakan salah satu sifat terpuji dalam budaya
orang Melayu. Menurut Tenas Effendy, sifat ini secara turun-temurun
dikekalkan dalam kehidupan mereka sebagai jati diri. Konon, istilah
“Melayu” itu pun berasal dari “me-melayukan” diri, yakni merendahkan
hati, berlaku lemah lembut, dan berbuat ramah tamah. Oleh karenanya,
orang Melayu umumnya menjauhi sifat angkuh, mengelakkan sombong dan
pongah, menghindari berkata kasar, dan tidak mau membesarkan diri
sendiri. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “adat Melayu merendah
selalu”. “Merendah” yang dimaksud di sini adalah merendahkan hati,
bermuka manis, dan berlembut lidah, tidak “rendah diri” atau pengecut.
Sifat rendah hati adalah cerminan dari kebesaran hati, ketulusikhlasan,
tahu diri, dan menghormati orang lain. (SM/sas/33/10-07)
Sumber :
- Effendy, Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
- Anonim. “Putri Tandampalik,” (http://www.kaskus.us, diakses tanggal 6 Oktober 2007).
- Gym., Aa. 2007. “Rangkuman Pengajian Majelis Manajemen Qolbu: Menjadi Pribadi Yang Bijak”. (http://wanto03.blogspot.coml, diakses tanggal 8 Oktober 2007).
- Anonim. “La Galigo,” (http://ms.wikipedia.org/wiki/La_Galigo, diakses tanggal 6 Oktober 2007).
- Anonim. “Kabupaten Wajo,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo, diakses tanggal 6 Oktober 2007).
- Anonim. “Kabupaten Bone,” (http://www.bone.go.id/sejarah.php, diakses tanggal 5 Oktober 2007)
[1] I La Galigo
adalah sebuah epik yang terpanjang di dunia. Epik yang muncul sebelum
epik Mahabrata ini, sebagian besar berisi puisi-puisi dalam bahasa
Bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. Namun, epik I La Galigo
ini tidak dapat dijadikan sebagai teks sejarah, karena isinya dipenuhi
dengan cerita mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaupun
demikian, setidaknya epik I La Galigo ini dapat memberikan
gambaran kepada para sejarahwan mengenai kebudayaan masyarakat Bugis
sebelum abad ke-14 M. Adapun manuskrip I La Galigo tersebut dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropah, terutama di Perpustakaan Leiden. (http://ms.wikipedia.org/wiki/La_Galigo, diakses tanggal 5 Oktober 2007).
[2]
Raja Bone adalah raja dari Kerajaan Bone. Kerajaan ini merupakan salah
satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan pada masa lalu. Kerajaan ini
didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330 M., dan mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru
Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta
Torisompae Mantinro ri Bontoala, pada pertengahan abad ke-17 M.
(http://www.bone.go.id/sejarah.php, diakses tanggal 5 Oktober 2007).
[3] Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar